Sejarah Perkembangan Tafsir pada Masa Awal Perkembangan Islam

A. Pengertian Tafsir
          Tafsir secara bahasa mengikuti wazan “taf’il,” artinya menjelaskan, menyingkap dan menerangkan makna-makna rasional. Sebagian Ulama berpendapat, kata Tafsir adalah kata kerja yang terbalik, berasal dari kata “safara” yang juga memiliki makna menyingkap[2]. Ilmu tafsir merupakan ilmu yang paling mulia dan paling tinggi kedudukannya, karena pembahasannya berkaitan dengan Kalamullah yang merupakan petunjuk dan pembeda dari yang haq dan bathil. Ilmu tafsir telah dikenal sejak zaman Rasulullah dan berkembang hingga di zaman modern sekarang ini.
          Ilmu tafsir adalah ilmu yang pokok dalam Al-Qur’an karena ilmu ini menjelaskan kalimat, huruf dalam Al-Qur’an. Memahamkan Al-Qur’an harus berdasarkan ilu tafsir yang diberi otoritas khusus oleh para Ulama. Tidak semua orang bebas menafsirkan Al-Qur’an kecuali para mfassiriin yang mempunyai kewenangan dalam menafsirkan Al-Qur’an.
          Alquran salah satu dari sejumlah kecil kitab suci yang telah memberikan pengaruh begitu luas dan mendalam dalam jiwa dan tindakan manusia. Bagi kaum muslimin Alquran bukan saja sebagai kitab suci melainkan juga petunjuk yang menjadi pedoman sikap dan tindakan mereka dalam memainkan peran sebagai manusia di muka bumi. Ibarat katalog sebuah produk barang, Alquran adalah petunjuk bagi pengelola alam ini sehinga berfungsi dengan baik. Maka baik buruknya managemen dan pendayagunaan alam sangat tergantung kepada tinggi rendahnya intensitas komitmen manusia terhadap petunjuk Alquran. Karena itu, tafsir dan yang berkaitan dengannya telah mendapat perhatian besar sejak masa awal perkembangan Islam sampai masa kini hingga masa mendatang mengingat posisi sentral yang dimilikinya sebagai petunjuk.
B. . Tafsir Pada Masa Rasulullah Dan Sahabat
Pada saat Al-Quran diturunkan, Rasul saw., yang berfungsi sebagai mubayyin (pemberi penjelasan), menjelaskan kepada sahabat-sahabatnya tentang arti dan kandungan Al-Quran, khususnya menyangkut ayat-ayat yang tidak dipahami atau samar artinya. Keadaan ini berlangsung sampai dengan wafatnya Rasul saw., walaupun harus diakui bahwa penjelasan tersebut tidak semua kita ketahui akibat tidak sampainya riwayat-riwayat tentangnya atau karena memang Rasul saw. sendiri tidak menjelaskan semua kandungan Al-Quran.

            Kalau pada masa Rasul saw. para sahabat menanyakan persoalan-persoalan yang tidak jelas kepada beliau, maka setelah wafatnya, mereka terpaksa melakukan ijtihad, khususnya mereka yang mempunyai kemampuan semacam 'Ali bin Abi Thalib, Ibnu 'Abbas, Ubay bin Ka'ab, dan Ibnu Mas'ud.

Sementara sahabat ada pula yang menanyakan beberapa masalah, khususnya sejarah nabi-nabi atau kisah-kisah yang tercantum dalam Al-Quran kepada tokoh-tokoh Ahlul-Kitab yang telah memeluk agama Islam, seperti 'Abdullah bin Salam, Ka'ab Al-Ahbar, dan lain-lain. Inilah yang merupakan benih lahirnya Israiliyat.

Di samping itu, para tokoh tafsir dari kalangan sahabat yang disebutkan di atas mempunyai murid-murid dari para tabi'in, khususnya di kota-kota tempat mereka tinggal. Sehingga lahirlah tokoh-tokoh tafsir baru dari kalangan tabi'in di kota-kota tersebut, seperti:

a.   Said bin Jubair, Mujahid bin Jabr, di Makkah, yang ketika itu berguru kepada Ibnu 'Abbas.
b.   Muhammad bin Ka'ab, Zaid bin Aslam, di Madinah, yang ketika itu berguru kepada Ubay bin Ka'ab.
c.    Al-Hasan Al-Bashriy, Amir Al-Sya'bi, di Irak, yang ketika itu berguru kepada 'Abdullah bin Mas'ud.

Gabungan dari tiga sumber di atas, yaitu penafsiran Rasul saw., penafsiran sahabat-sahabat, serta penafsiran tabi'in, dikelompokkan menjadi satu kelompok yang dinamai Tafsir bi Al-Ma'tsur. Dan masa ini dapat dijadikan periode pertama dari perkembangan tafsir.

Berlakunya periode pertama tersebut dengan berakhirnya masa tabi'in, sekitar tahun 150 H, merupakan periode kedua dari sejarah perkembangan tafsir.

Pada periode kedua ini, hadis-hadis telah beredar sedemikian pesatnya, dan bermunculanlah hadis-hadis palsu dan lemah di tengah-tengah masyarakat. Sementara itu perubahan sosial semakin menonjol, dan timbullah beberapa persoalan yang belum pernah terjadi atau dipersoalkan pada masa Nabi Muhammad saw., para sahabat, dan tabi'in.

Pada mulanya usaha penafsiran ayat-ayat Al-Quran berdasarkan ijtihad masih sangat terbatas dan terikat dengan kaidah-kaidah bahasa serta arti-arti yang dikandung oleh satu kosakata. Namun sejalan dengan lajunya perkembangan masyarakat, berkembang dan bertambah besar pula porsi peranan akal atau ijtihad dalam penafsiran ayat-ayat Al-Quran, sehingga bermunculanlah berbagai kitab atau penafsiran yang beraneka ragam coraknya. Keragaman tersebut ditunjang pula oleh Al-Quran, yang keadaannya seperti dikatakan oleh 'Abdullah Darraz dalam Al-Naba'Al-Azhim:
 "Bagaikan intan yang setiap sudutnya memancarkan cahaya yang berbeda dengan apa yang terpancar dari sudut-sudut yang lain, dan tidak mustahil jika anda mempersilakan orang lain memandangnya., maka ia akan melihat lebih banyak dari apa yang anda lihat."

Muhammad Arkoun, seorang pemikir Aljazair kontemporer, menulis bahwa: "Al-Quran memberikan kemungkinan-kemungkinan arti yang tak terbatas. Kesan yang diberikan oleh ayat-ayatnya mengenai pemikiran dan penjelasan pada tingkat wujud adalah mutlak. Dengan demikian ayat selalu terbuka (untuk interpretasi) baru, tidak pernah pasti dan tertutup dalam interpretasi tunggal.

C. Tafsir di Masa Tabi’in

Ada beberapa tempat yang oleh tabi’in dijadikan sebagai pusat perkembangan ilmu tafsir. Para tokoh tabi’in mendapatkan qaul-qaul sahabat di tiga tempat yaitu Makkah, Madinah dan di Iraq. Ibnu Taimiyyah mengatakan: “Orang-orang yang paling mengerti tentang tafsir adalah orang-orang Makkah, karena mereka adalah murid-murid Ibnu Abbas r.a. seperti Mujahid, ‘Atho’ ibn Abi Riyah, ‘Ikrimah, Jubair, Thawus, dan lain-lain. Begitu juga di Kufah ada murid-murid Ibnu Mas’ud. Sedangkan ulama Madinah di bidang tafsir seperti Zaid Ibnu Aslam.
Sebagaimana para sahabat, tabi’in pun ada yang menerima tafsir dengan ijtihad ada pula yang menolaknya. Golongan yang tidak membolehkan mengkritik orang yang membolehkan dengan beberapa hadis, seperti
من تكلّم في القرأن فأصاب فأخطأ
Diantara tabi’in yang menolak metode tafsir bi al-ijtihad adalah Sa’id Ibn al-Musayyab dan Ibnu Sirin. Diantara tabi’in yang membolehkan seperti Mujahid, ‘Ikrimah dan sahabat-sahabatnya.

Para tabi’in juga memberikan perhatian yang sangat besar kepada Israiliyyat dan Nasraniyyat. Mereka menerima berita-berita dari orang-orang Yahudi dan Nashrani yang masuk Isam, kemudian mereka memasukkannya kedalam tafsir. Menurut keterangan yang ditulis Hamka, para mufassir saat itu sangat berbaik sangka kepada pembawa berita. Mereka menganggap orang yang telah masuk Islam tidak mau berdusta. Oleh sebab itu, para mufassir saat itu tidak mengoreksi lagi khabar-khabar yang mereka terima.

Inilah beberapa contoh para tabi’in yang mengembangkan ilmu tafsir berdasarkan ijtihad para tabi’in yang berlandaskan Al Qur’an dan Hadits, yaitu sebagai berikut :
IBNU KATSIR
          Ibnu Katsir adalah pengarang tafsir Ibnu Kasir yang bernama I’mad al-Din Isma’il ibn ‘Umar ibn Kasir al-Quraisyqi. Ia biasa dipanggil dengan panggilan Abu al-Fida’. Beliau lahir di Basrah tahun 700 H/1300 M.
          Di bidang hadits, Ibn katsir banyak belajar dari ulama-ulama Hijaz. Ia medapatkan ijazah dari al-Wani. Ia juga dididik oleh pakar hadits terkenal di Suriah yakni Jamal ad-Din al-Mizzi (w, 742 H/ 1342 M), yang kemudian dijadikan mertuanya sendiri.
Corak dan Metode Penafsiran
          Kitab ini dapat dikaegorikan sebagai salah satu kitab tafsir dengan corak dan orientasi (al-laun wa al-ittijah) tafsir bi al-ma’sur atau tafsir bi al-riwayah. Ini terbukti karena beliau sangat dominan dalam tafsirannya memakai riwayah atau hadits, dan pendapat sahabat dan tabi’in. Dapat dikatakan bahwa dalam tafsir ini yang paling dominan ialah pendekatan normatif historis yang berbasis utama kepada hadits atau riwayah. Namun Ibnu Kasir pun terkadang menggunakan rasio atau penalaran ketika menafsirkan ayat.
          Ia adalah Ismail bin Amr Al-Quraisyi bin Katsir Al-Bashri Ad-Dimasyqi Imaduddin Abu Al-Fida Al-Hfizh Al-Muhaddits Asy-Syafi’i.
          Dilahirkan pada 705 H. dan wafat pada 774 H., sesudah menempuh kehidupan panjang yang sarat dengan keilmuan. Ibnu Katsir seorang pakar fikih yang mumpuni, ahli hadits yang cerdas, sejarawan ulung dan mufassir unggulan. Menurut Ibnu Hajar, Ibnu Katsir seorang ahli hadits yang fakih. Karya-karyanya tersebar luas di berbagai negeri semasa hidupnya dan bermanfaat bagi orang banyak setelah wafatnya.
Karya-karyanya
Di antara karya tulisannya :
Al-Bidayah wa An-Nihayah, dalam bidang sejarah. Kitab ini termasuk referensi terpenting bagi sejarawan.
Al-Kawakib Ad-Darari, dalam bidang sejarah, semacam ringkasan dari Al-Bidayah wa An-Nihayah.
Tafsir Al-Qur’an
Al-Ijtihad wa Thalab Al-Jihad.
Jami’ Al-Masanid;
As-Sunnah Al-Hadi li Aqwami Sunan.
AlWadih An-Nafis fi Manaqib Al-Imam Muhammad bin Idris.
Tafsirnya
          Dalam hal ini, Rasyid Ridha berkomentar, “Tafsir ini merupakan tafsir paling masyhur yang memberikan perhatian besar terhadap riwayat-riwayat dari para mufassir salaf, menjelaskan makna-makna ayat dan hukumnya, menjauhi pembahasan masalah i’rab dan cabang-cabang balaghah yang pada umumnya dibicarakan secara panjang lebar oleh kebanyakan mufassir, menghindar dari pembicaraan yang melebar pada ilmu-ilmu lain yang tidak diperlukan dalam memahami Al-Qur’an secara umum atau hokum dan nasehat-nasehatnya secara khusus.”
          Di antara cirri khas tafsirnya ialah perhatiannya yang besar kepada masalah tafsir Al-Qur’an bi Al-Qur’an (menafsirkan ayat dengan ayat). Sepanjang pengetahuan kami, tafsir ini merupakan tafsir yang paling banyak memuat atau memaparkan ayat-ayat yang bersesuaian maknanya, kemudian diikuti dengan penafsiran ayat dengan hadits-hadits marfu’ yang relevan dengan ayat yang sedang ditafsirkan, menjelakan apa yang menjadi dalil dari ayat tersebut. Selanjutnya diikuti dengan atsar para sahabat, pendapattabi’in dan ulama salaf sesudahnya.
          Keistimewaan lain dari tafsir ini, daya kritisnya yang tinggi terhadap cerita-cerita Israiliyat yang banyak tersebar dalam kitab-kitab tafsir bil-ma’tsur, baik secara global maupun mendetail. Namun alangkah akan lebih baik lagi andaikata ia menyelidikinya secara tuntas, atau bahkan tidak memuatnya sama sekali jika tidak untuk keperluan filterisasi dan penelitian.
IBNU ABBAS
          Ibnu Abbas adalah Abdullah bin Abbas bin Abdul Muthalib bin Hasyim bin Abdi Manaf Al-Quraisyi Al-Hasyimi, putra paman Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, Ibunya bernama Ummu Al-Fadhl Lubanah binti Al-Harits Al-Hilaliah. Ia dilahirkan ketika Bani Hasyim berada di Syi’ib, tiga atau lima tahun sebelum hijrah, namun pendapat pertama lebih kuat.
          Abdullah bin Abbas menunaikan ibadah harji pada tahun Utsman bin Affan terbunuh, atas perintah Utsman. Ketika terjadi perang shiffin, ia berada di Al-Maisarah, kemudian diangkat menjadi gubernur Bashrah dan selanjutnya menetap di sana sampai Ali terbunuh. Kemudian ia mengangkat Abdullah bin Al-Harits, sebagai penggantinya, menjadi gubernur Bashrah, sedang ia sendiri pulang ke Hijaz. Ia wafat di Thaif pada 65 H. pendapat yang dipandang shahih oleh jumhur ulama. Al-Waqidi menerangkan, tidak ada selisih pendapat di antara para imam bahwa Ibnu Abbas dilahirkan di Syi’ib ketika kaum Quraisy memboikot Bani Hasyim, dan ketika Nabi wafat ia baru berusia tiga belas tahun.
Posisi dan Keilmuannya
          Ibnu Abbas dikenal dengan gelar Turjuman Al-Qur’an (penafsir Al-Qur’an). Habrul Ummah (guru umat), dan Ra’isul mufassirin (pemimpin para mufassir). Al-Baihaqi dalam Ad-Dala’il meriwayatkan dari Ibnu Mas’ud, “Penafsir Al-Qur’an terbaik adalah Ibnu Abbas”. “Abu Nu’aim meriwayatkan keterangan dari Mujahid, adalah Ibnu Abba Dijuluki dengan Al-Bahr (lautan) karena banyak dan luas ilmunya. Ibnu Sa’ad meriwayatkan pula dengan sanad yang shahih dari Yahya bin Sa’id Al-Anshari, “Ketika Zaid bin Tsabit wafat, Abu Hurairah berkata, “Orang paling pandai umat ini telah wafat dan semoga Allah menjadikan Ibnu Abbas sebagai penggantinya.”
          Dalam usia muda, Ibnu Abbas telah mendapat tempat yang istimewa di kalangan para senior sahabat mengingat ilmu dan ketajaman pemahamannya, sebagai wujud dari do’a Rasulillah untuknya. Dalam sebuah riwayat dari Ibnu Abbas sendiri dijelaskan, “Nabi pernah merangkulnya dan berdo’a, Ya Allah, ajarkanlah kepadanya hikmah.”’
          Dalam Mu’jam Al-Baghawi dan lainnya, dari Umar bin Al-Khatthab, “Beliau menekati Ibnu Abbas dan berkata, sungguh saya telah melihat Rasulullah mendoakanmu, lalu membelai kepalamu, meludahi mulutmu dan berdoa, ‘Ya Allah, berilah ia pemahaman yang hebat dalam urusan agama dan ajarkanlah kepadanya takwil.”’
Bukhari, dari jalur sanah Sa’id bin Jubair, meriwayatkan dari Ibnu Abbas, ia menceritakan, “Umar mengikutsertakan saya kedalam kelompok para tokoh senior perang Badar. Nampaknya sebagian mereka merasa kurang suka lalu berkata, ‘Kenapa anak ini diikutsertakan ke dalam kelompok kami, padahal kami pun mempunyai anak-anak yang sepadan dengannya?’ Umar menjawab, ‘Ia memang seperti yang kamu ketahui.’Pada suatu hari Umar memanggil mereka dan mengajak saya bergabung dengan mereka. Saya yakin, Umar memanggilku itu semata-mata hanya untuk “memamerkan” saya kepada mereka. Ia berkata, ‘Bagaimana pendapat tuan-tuan mengenai firman Allah, “apabila pertolongan dan kemenangan Allah telah tiba.” (An-Nasr:1)?’ Sebagian mereka menjawab, ‘Kita diperintaj untuk memuji Allah dan memohon ampunan kepada-Nya ketika Dia memberi kita pertolongan dan kemenangan.’ Sedang yang lain diam, tidak berkata apa pun. Lalu Umar berkata kepadaku,’ Begitukah pendapatmu, hai Ibnu Abbas?’ ‘Tidak,’ jawabku. ‘Lalu bagaimana menurutmu?’ tanyanya lebih lanjut. Saya pun menjawab, ‘Ayat itu adalah sebagai pertanda tentang ajal RasulullahShallallahu alaihi wa sallam, yang Allah informasikan kepadanya, “Apabila pertolongan dan kemenangan dari Allah telah dating,” –dan itu sebagai pertanda ajalmu, wahai Muhammad- “Maka bertasbihlah dengan memuji Tuhanmu dan mohon ampunlah kepada-Nya. Sesungguhnya Ia Maha penerima taubat.” Umar pun berkata, ‘ Aku tidak mengetahui maksud ayat itu kecuali apa yang kamu katakana.”’
Corak Tafsir Ibnu Abbas
          Riwayat dari Ibnu Abbas mengenai tafsir tidak terhitung banyaknya, dan apa yang dinukil darinya itu telah dihimpun dalam sebuah kitab tafsir ringkas yang kurang sistematis tajuknya Tafsir Ibnu Abbas. Di dalamnya terdapat macam-macam riwayat dan sanad. Tetapi sanad yang terbaik adalah melalui jalur Ali bin Thalhah Al-Hasyim, dari Ibnu Abbas. Sanah ini menjadi pedoman Bukhari dalam kitab shahihnya. Sedang sanah yang cukup baik, dari jalur Qais bin Muslim Al-Kufi, dari ‘ Atha’ bin As-Sa’ib.
          Di dalam kitab-kitab tafsir besar yang disandarkan kepada Ibnu Abbas terdapat kerancuan sanad. Sanad paling rancu dan lemah, sanad melalui jalur Al-Kalbi dari Abu Shalih. Al-Kalbi sendiri adalah Abu An-Nashr Muhammad bin As-Sa’ib (wafat. 146 H.) Jika sanad ini digabungkan dengan riwayat Muhammad bin Marwan As-Suddi As-Shaghir, maka akan menjadi sebagai silsilah al-kadzib (mata rantai kebohongan). Demikian juga sanad Muqatil bin Sualiman bin Bisyr Al-Azdi. Hanya saja Al-Kalbi lebih baik dari padanya. Karena Muqatil terikat dengan berbagai madzhab atau paham yang kurang baik.
          Sementara itu sanad Adh-Dhahhak bin Muzahim Al-Kufi dari Ibnu Abbas munqathi’, (terputus). Karena Adh-Dhahhak tidak berjumpa langsung dengan Ibnu Abbas. Apabila digabungkan kepadanya riwayat Bisyr bin Imarah, maka riwayat Juwaibir dari Adh-Dhahhak, maka riwayat ini tetap lemah karena Bisyr memang lemah. Dan jika sanad itu melalui riwayat Juwaibir dari Adh-Dhahhak, maka riwayat tersebut sangat lemah karena Juwaibir sangat lemah dan riwayatnya ditinggalkan ulama.
          Sanad melalui Al-‘Aufi, dan seterusnya dari Ibnu Abbas, banyak dipergunakan oleh Ibnu Jarir dan Ibnu Abi Hatim, padahal Al-‘Aufi itu seorang yang lemah meskipun lemahnya tidak keterlaluan dan terkadang dinilai hasan oleh At-Tirmidzi.
          Dengan penjelasan tersebut dapatlah kiranya pembaca menyelidiki jalur periwayatan tafsir Ibnu Abbas, dan mengetahui mana jalur yang cukup baik dan diterima, serta mana pula jalur yang lemah atau ditinggalkan, sebab tidak setiap yang diriwayatkan dari Ibnu Abbas itu shahih dab pasti. Masalah ini telah kami kemukakan lebih rinci pada bagian terdahulu ketika membicarakan tentang tafsirnya.

D. Tafsir pada Masa Tadwin

Masa tadwin ini dimulai dari awal zaman Abbasiah. Para ulama saat itu mengumpulkan hadis-hadis yang mereka peroleh dari para sahabat dan tabi’in. Mereka menyusun tafsir dengan menyebutkan sepotong ayat, kemudian menyebutkan riwayat dari para sahabat dan tabi’in. Namun demikian, ayat-ayat al-Quran yang ditafsiri ini masih belum tersusun sesuai dengan susunan mushaf.

Untuk memisahkan hadis-hadis tafsir dari hadis yang lain, para ulama mengumpulkan hadis-hadis yang marfu’ dan hadis-hadis mauquf tentang tafsir. Mereka mengumpulkan hadis bahkan dengan mengambilnya dari berbagai kota. Di antara ulama yang mengumpulkan hadis dari berbagi daerah ini adalah: Sufyan Ibnu ‘Uyainah, Waki’ Ibnu Jarrah, Syu’bah Ibnu Hajjaj, Ishaq Ibnu Rahawaih.

Pada akhir abad kedua barulah hadis-hadis tafsir dipisahkan dari hadis-hadis lainnya dan disusun tafsir berdasarkan urutan mushaf. Menurut penelitian Ibnu Nadim, orang yang pertama kali menafsirkan ayat-ayat al-Quran menurut tertib mushaf adalah al-Farra’. Ia melakukannya atas permintaan ‘Umar Ibnu Bakir. Ia mendiktekan tafsirnya kepada murid-muridnya di masjid setiap hari Jum’at.
Pada masa Abbasiyah seiring dengan perkembangan ilmu pengetahuan berkembang pula ilmu tafsir. Para ulama’ nahwu seperti Sibawaihi dan al-Kisaiy mengi’rabkan al-Quran. Para ahli nahwu dan bahasa menyusun kitab yang dinamakan dengan Ma’ani al-Quran.

E. Kodifikasi Ilmu Tafsir

            Pembukuan tafsir dilakukan dalam lima periode yaitu:
·         Periode Pertama, pada zaman Bani Muawiyyah dan permulaan zaman Abbasiyah yang masih memasukkan ke dalam sub bagian dari hadits yang telah dibukukan sebelumnya.
 
·         Periode Kedua, Pemisahan tafsir dari hadits dan dibukukan secara terpisah menjadi satu buku tersendiri. Dengan meletakkan setiap penafsiran ayat dibawah ayat tersebut, seperti yang dilakukan oleh Ibnu Jarir At-Thobary, Abu Bakar An-Naisabury, Ibnu Abi Hatim dan Hakim dalam tafsirannya, dengan mencantumkan sanad masing-masing penafsiran sampai ke Rasulullah, sahabat dan para tabi’in.

·         Periode Ketiga, Membukukan tafsir dengan meringkas sanadnya dan menukil pendapat para ulama’ tanpa menyebutkan orangnya. Hal ini menyulitkan dalam membedakan antara sanad yang shahih dan yang dhaif yang menyebabkan para mufassir berikutnya mengambil tafsir ini tanpa melihat kebenaran atau kesalahan dari tafsir tersebut. Sampai terjadi ketika mentafsirkan ayat

غير المغضوب عليهم ولاالضالين
ada sepuluh pendapat, padahal para ulama’ tafsir sepakat bahwa maksud dari ayat tersebut adalah orang-orang Yahudi dan Nasrani.

·         Periode Keempat, pembukuan tafsir banyak diwarnai dengan buku – buku tarjamahan dari luar Islam. Sehingga metode penafsiran bil aqly (dengan akal) lebih dominan dibandingkan dengan metode bin naqly ( dengan periwayatan). Pada periode ini juga terjadi spesialisasi tafsir menurut bidang keilmuan para mufassir. Pakar fiqih menafsirkan ayat Al-Qur’an dari segi hukum seperti Alqurtuby. Pakar sejarah melihatnya dari sudut sejarah seperti ats-Tsa’laby dan Al-Khozin dan seterusnya.

·         Periode Kelima, tafsir maudhu’i yaitu membukukan tafsir menurut suatu pembahasan tertentu sesuai disiplin bidang keilmuan seperti yang ditulis oleh Ibnu Qoyyim dalam bukunya At-Tibyan fi Aqsamil Al-Qur’an, Abu Ja’far An-Nukhas dengan Nasih wal Mansukh, Al-Wahidi Dengan Asbabun Nuzul dan Al-Jassos dengan Ahkamul Qur’annya.

Tradisi keilmuan yang berbeda berkembang di belahan barat dunia Islam seperti Andalusia, Tunisia, Fas, Granada dan lainnya. Jika di timur yang berkembang adalah syarah dan komentar (ta`liq/hasyiyat) maka di barat tradisi anilitik tanpa melupakan uraian kata dan ungkapan berkembang dengan baik. Di antara karya tafsir yang muncul di sana adalah karya Ibnu Arfah (w 803 H) dan al-Jâmi` li Ahkâm al-Qur`ân karya al-Qurthubiy (w 671 H).

Pada masa Ottoman, sampai awal abad ke 13 H literatur tafsir yang mendominasi dunia Islam dapat dikelompokkan menjadi tiga bagian; pertama: tafsir ilmiah sunni yang diwakili oleh tafsir al-Baidhawi dan Abu Su`ud; kedua : tafsir ilmiah syiah seperti karya Al-Thusi, al-Qummiy dan al-Thabarsiy (Majma` al-Bayân), ketiga : tafsir sufi yang tidak terikat dengan istilah teknis ilmiah dan bahasa yang diwakili oleh Rûh al-Bayân karya Ismail Haqqi al-Barsawiy. Ketiga tradisi keilmuan; sunnah, syiah dan sufi tersebut mempengaruhi kehidupan Al-Alusiy (w. 1270 H) yang melahirkan karya Rûh al-Ma`âniy. Suatu karya yang cukup kuat dengan menghimpun ketiga tradisi keilmuan yang berkembang pada masa Ottoman. Al-Alusi berhasil menunjukkan kemampuan intelektualnya dalam menggali pesan-pesan Alquran dengan perangkat keilmuan yang memadai, selain juga menampilkan kepribadian sufi dalam dirinya dalam bentuk capaian makna-makna isyarat di balik lafal Alquran.

Sampai pada al-Alusi penafsiran Alquran lebih merupakan suatu masalah akademis. Memahami sebuah tafsir memerlukan pengetahuan yang detil terhadap kata-kata teknis dan istilah-istilah bahasa Arab, hukum dan dogma, sunah Nabi dan para Sahabat serta bigrafi Nabi. Tafsir-tafsir Alquran merupakan ensiklopedi-ensiklopedi dari ilmu-ilmu tersebut atau lebih merupakan kutipan dari ensiklopedi tersebut.


F. KESIMPULAN
1. Rasulullah berkewajiban menjelaskan tentang penafsiran al-qura’n kepada para sahabat tapi karena tidak dijelaskan sampai akhir mengakibatkan sahabat ada yang melakukan ijtihad. Dengan mengambil riwayat dari ibn abbas sahabat mampu memahami al-quran dengan pemahaman yang mendalam tetapi tidak sampai merumuskan balaghah yang diperlukan untuk generasiberikutnya.



2. Penafsiran yang dilakukan rasulullah, sahabat serta tabi’un tabi’in belum dilakukan dalam bentuk kitab sehingga masih ada kesulitan untuk mempelajarinya. Barulah pada masa akhir bani umayyah dilakukan pembukuan dari penafsiran al-quran. Tafsir yang dilakukan mulai dari ibnu abbas, sa’id bin jubair, dan abu ubaidah.



DAFTAR PUSTAKA
Ali Hasan Al-Aridl. Sejarah dan Metodologi Tafsir (terj.). (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1994)
Ahmad, Syadali, Ahmad Rafi’i. Ulumul Quran . (Bandung : CV. Pustaka Setia, 1997)
ShihabM. QuraishMembumikan al-Qur’an. (Bandung: Mizan. 1992)
Baidan, Nashrudin, “Wawasan Baru Ilmu Tafsir”, (Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2005)

By: Cahaya Nur Hidayat

      15240003

Komentar

Postingan Populer